Posted by: nana mulyana | December 2, 2008

Berhentilah Menanti, Jadilah Pahlawan

BERHENTILAH MENANTI, JADILAH PAHLAWAN

Bumi ini terus berputar. Dengan putarannya itu, saling bergantilah siang dan malam, berubahlah musim, dan terjadilah fenomena-fenomena alam. Dunia ini pun senantiasa bergerak. Ia dinamis. Dengan kedinamisannya ini, kehidupan menjadi tidak statis. Ia senantiasa berubah. Yang berubah bukan hanya aspek fisiknya saja, tetapi juga aspek nonfisiknya. Perubahan  bukan hanya pada tata ruang dan sistem waktunya saja, tetapi juga  aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Hal inilah yang menjadikan kehidupan di dunia ini bagaikan perputaran roda. Segala sesuatu yang ada di permukaan roda tersebut kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Kejayaan dan kemunduran suatu bangsa memang dipergilirkan. Ada masanya suatu bangsa, suatu daerah, suatu organisasi, atau kelompok yang lebih kecil dari itu semua, mengalami masa-masa kejayaan. Ada masanya pula mereka mengalami keruntuhan. Pada saat mundur, kritis, titik nadi inilah suatu bangsa mengharapkan akan muncul orang-orang yang akan kembali memimpin mereka menuju kejayaan. Orang-orang inilah yang kemudian disebut para pahlawan.

Pahlawan memang tidak harus satu orang atau beberapa orang, bisa saja berupa kelompok atau organisasi. Bahkan sebuah bangsa pun dapat menjadi pahlawan, tentu saja bagi sistem yang lebih luas yaitu dunia. Seorang suami bisa menjadi pahlawan bagi keluarganya. Seorang pemimpin organisasi bisa menjadi pahlawan bagi organisasinya. Seorang cleaning servicer pun bisa menjadi pahlawan bagi perusahaan tempat ia bekerja. Sebuah bangsa bisa menjadi pahlawan bagi dunia ketika ia mampu mengawal dunia  menuju peradaban yang lebih bekeadilan. Menata dunia menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk ditunggali. Ia mampu menjawab dengan gagah permasalahan-permasalahan dunia pada saat itu, menjadikan dirinya bagian dari solusi permasalahan dunia.

Jika kesuksesan adalah bertemunya kesiapan dengan kesempatan, maka kepahlawanan dapat juga disebut sebagai bertemunya prestasi dengan mementum. Seorang pahlawan adalah orang yang berprestasi di saat yang tepat. Mungkin banyak orang yang berprestasi jauh lebih hebat daripada para pahlawan yang telah diakui dunia saat ini, tetapi ia tidak dianggap pahlawan. Mengapa? karena prestasi mereka tidak bertemu dengan momentum yang tepat. Meskipun demikian, seorang pahlawan berusaha keras memanfaaatkan setiap momentum menjadi prestasi karena ia tidak tahu momentum mana yang akan menobatkannya menjadi pahlawan. Ia selalu mempersiapkan diri untuk meyambut momentum dengan kesiapan diri dan menutupnya dengan prestasi. Meskipun demikian, seorang pahlawan bukanlah orang yang menantikan gelar pahlawan dianugerahkan kepadanya. Ia tidak pernah memikirkan hal itu. Ia hanya fokus menyiapkan diri untuk berprestasi dan berkontribusi.

Suatu komunitas tidak akan mampu bangkit dari suatu krisis tanpa ada peran pahlawan di sana. Akan tetapi, sorang pahlawan tidak akan hadir jika semua entitas di sana hanya menanti kedatangan pahlawan. Mereka saling mangharapkan satu sama lain untuk menjadi pahlawan. Mereka menanti sang pahlawan dari luar diri mereka, dari luar komunitas mereka. Sampai komunitas itu hancur, pahlawan itu tak akan pernah datang dan membangkitkan mereka. Mengapa? karena pahlawan itu tidak ada di luar, ia ada di dalam. Ia ada di dalam komunitas, ia adalah entitas dari komunitas itu sendiri.

Tidak akan ada M. Natsir, tidak juga bung Tomo, Pangeran Dipenogoro, Teuku Umar, dan pahlawan-pahlawan yang lainnya ketika setiap orang di negeri ini hanya menanti orang lain yang jadi pahlawan. Tidak akan pernah ada kemerdekaan ketika kita menyerahkan urusan perjuangan ini pada bangsa lain. Mengemis-ngemis kemerdekaan kepada penjajah bukanlah karakter para pahlawan bangsa ini. Permasalahan bangsa ini tidak akan pernah selesai jika bukan kita, sebagai bagian dari bangsa ini, yang menyelesaikannya..

Mental “menanti” kedatangan pahlawan “eksternal” ini merupakan penyakit mental yang sangat berbahaya. Kita jadi apatis, pesimis, dan yang paling parah adalah kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Dalam skala yang lebih luas, skala bangsa, mental ini menjadikan bangsa kita sebagai bangsa pengemis. Meminta-minta bantuan asing untuk menyelesaikan permasalahan dalam negeri bukan karakter pahlawan. Mengemis-ngemis padahal mampu, hanya karena tidak percaya diri, adalah perbuatan yang menjatuhkan harga diri.

Dengan mental  seperti ini pula, lahirlah klenik-klenik, pengkultusan pada manusia, dan sikap-sikap anarkis. Klenik-klenik akan munculnya Ratu Adil yang akan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan telah mengakar di sebagian rakyat negeri ini. Ketika ada orang yang mengaku sebagai juru selamat, ia mendapat sambutan yang luar biasa  dari orang-orang yang sudah putus asa. Memang selama ini, itulah yang mereka cari, sang juru selamat. Kemudian, mereka mengkultuskannya, layaknya seorang nabi, malaikat, bahkan Tuhan.

Yang paling mengherankan juga adalah anarkisme di dunia sepakbola Indonesia pun terkait dengan mental “menanti” pahlawan. Menurut Prof. Paulus, Guru Besar Sosiologi UI, anarkisme yang terjadi di persepakbolaan Indonesia terjadi karena para supporter klub tidak mempunyai kebanggaan lagi selain kepada klub yang mereka dukung. Mereka sangat berharap banyak pada tim yang mereka dukung. Ketika timnya menang, mereka riang gembira, bangga, pahlawan mereka menang. Ketika timnya kalah, mereka marah bukan kepalang. Mereka merasa sedih karena kebanggaaan mereka tidak bisa lagi dibanggakan. Mereka manggantungkan rasa senang dan sedihnya pada tim yang mereka dukung. Mereka menyerahkan pahlawan “kebahagiaan” itu kepada sesuatu di luar dirinya, bukan mereka sendiri.

Bayangkan, ketika tiap diri menghancurkan mental “menanti” itu dan menggantinya dengan mental proaktif; ketika dalam jiwa anak-anak negeri ini bersemayam sebuah rasa tanggung jawab sosial yang tinggi ; ketika dalam karakter putra-putri bangsa ini ada semangat kepahlawanan; mereka akan ambil bagian dalam penyelesaian permasalahan di negeri ini. Tidak sekedar mengkritik, tapi juga memberi saran. Tidak sekedar menghujat, tetapi juga mengusulkan solusi. Duduk berembuk didasari rasa kepedulian yang tinggi akan keadaan bangsa dan negaranya tercinta. Sungguh, insya-Allah, beberapa tahun kedepan, bangsa ini akan segera keluar dari kubangan krisis. Sejarah akan mencatat pahlawan-pahlawan baru dengan tinta emas meskipun dalam perjuangannya mereka meneteskan darah dan mengucurkan keringat. Begitulah memang kisah kepahlawanan sepanjang sejarah.

Ketika menanti kedatangan sang pahlawan, kita tidak tahu kapan ia datang. Pertanyaan penting, apakah ia akan muncul jika setiap diri hanya menanti dan menanti? Apakah ia ada jika tidak ada yang memulai? Ketika menjadikan diri kita pahlawan, kita telah ambil bagian dari solusi permasalahan. Bangsa yang besar bukan hanya menghargai jasa para pahlawannya, tetapi juga mampu menjaga spirit kepahlawanan dan menularkannya kepada generasi setelahnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu  melahirkan  pahlawan-pahlawan baru. Oleh karena itu, agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar, berhentilah menanti, bergeraklah, bergegaslah, ambillah keputusan, jadilah pahlawan itu. We are the man.


Responses

  1. subhanallah..nice articel


Leave a comment

Categories